maung panjalu

Diterbitkan Oleh eko rosandi pada 03 Februari 2011 | 00.19


(Disunting oleh Atep T. Hadiwa Js. dari R. Hendar Suhendar, SH., Sejarah Panjalu, 2007)

Raja Majapahit "Prabu Brawijaya" duduk termenung menyendiri dalam belaian malam yang sunyi-sepi, kerlipan ribuan bintang di angkasa membawa pikirannya menerawang mengagumi keindahan malam dan menyadari akan keagungan Sang Maha Pencipta. Bak cahaya emas, sang bulan pun menemani sang raja memanjakan perasaannnya pada malam itu. Sayup-sayup hembusan angin mendendangkan nyanyian begitu mendayunya.
"Ah… ya", gumamnya.
"Betapa pentingnya persatuan demi keutuhan Negara, disertai dengan ikatan persahabatan dengan bangsa dan negara lain. Betapa tidak? Daripada menggantungkan diri pada negara lain, menaklukkan negara lain dengan penuh kebencian dan kekejaman", lanjut sang raja dalam hatinya. Pikiran itu terus menari-nari sepanjang malam dalam dirinya, sehingga akhirnya munculah keinginannya untuk menciptakan suatu ikatan hubungan dengan negara Padjadjaran di Pasundan dengan cara melaksanakan perkawinan. Malam pun semakin jauh tanpa terasa, udara semakin dingin menusuk menyelinap setiap pori. Sang raja masih memikirkan keinginannya itu. Tak terasa, malam pun akan segera berganti siang, sang raja menyempurnakan menunggu esok dengan secercah harapan.






Pagi hari yang cerah, kehangatan matahari pagi membelah embun yang menyelimuti jagat raya. Sang raja berseri-seri memanggil patih utuk menyampaikan segala rencananya semalam. Niatnya untuk menyampaikan pinangan kepada keturunan Negara Padjadjaran, disampaikannya kepada ki patih dengan harapan dapat menjalin ikatan antar negara. Serta-merta ki patih pun mengindahkan keinginan sang raja. Dikumpulkannya sejumlah prajurit untuk melaksanakan niat sang raja tersebut. Perjalanan menjuju Negara Padjadjaran bukan hal ringan, ki patih beserta rombongan harus menempuhnya dengan waktu yang bukan sebentar. Maka, segala persiapan dan perbekalan yang dibutuhkan dikumpulkannya dengan lengkap. Berangkatlah ki patih beserta rombongan disertai seorang mentri dari Majapahit menuju Padjadjaran. Sepanjang perjalanan begitu berat, hutan belantara, semak belukar, kali dan sungai harus mereka lewati. Pantang menyerah seluruh rombongan, keinginan sang raja harus dilaksanakan dan pantang dibantah. Akhirnya, sampailah rombongan patih Majapahit di Padjadjaran. Mereka disambut dengan ramah oleh raja Padjadjaran beserta pengisi istana lainnya.



Setelah rombongan patih Majapahit melepas lelah beberapa saat, pertemuan dengan raja Padjadjaran pun dimulai. Mentri dari Majapahit menyampaikan amanat rajanya, dikuatkan dengan sepucuk surat. Menurut raja Padjadjaran, surat lamaran itu diartikan sebagai ajakan raja Majapahit untuk bersaudara, menjalin silaturahmi, dan akan sangat menghormati kalau saja niatnya disetujui. Tak lama raja Padjadjaran berpikir, putri raja ternyata menyetujuinya dan raja pun menerimanya dengan senang hati, bahkan ditetapkan pula hari perkawinan pada pertemuan itu. Alangkah gembiranya ki patih Majapahit beserta rombongan mendengar keputusan itu, tak lama kemudian mereka berpamitan untuk kembali ke Majapahit dan menyampaikan hasil pertemuannya dengan raja Padjadjaran.
Sesampainya di Majapahit, mentri bersama ki patih segera menghadap sang raja. Disampaikannya segala keputusan hasil pertemuan dengan raja Padjadjaran. Raja Majapahit sangat bersyukur ketika mengetahui bahwa niatnya untuk meminang putra raja Padjadjaran, telah diterimanya. Dengan hati yang sangat gembira, raja Majapahit tak menyia-nyiakan waktu. Ia pun segera berangkat menuju Padjadjaran untuk menyampaikan ikatan tali kasih dengan putri Kencana Larang. Pernikahan antara keduanya pun berlangsung dengan sangat meriah. Kini sang putri Kencana Larang resmi diperistri oleh raja Majapahit.
Seminggu setelah perkawinan, diboyonglah sang putri ke Majapahit. Keduannya saling memadu kasih dan menikmati bulan madunya di Majapahit sampai pada beberapa bulan berlalu. Pada suatu ketika, putri Kencana Larang menyampaikan kepada suaminya bahwa ia sedang berbadan dua. Mendekati usia kandungan sembilan bulan, tersirat dalam hatinya ingin merencanakan dan menyatakan kepada Prabu Brawijaya untuk pergi ke Padjadjaran. 


"Tuanku, raja buah hati izinkanlah hamba untuk pergi menemui ayahnda dan ibunda. Alangkah bahagianya hati jika pada waktu melahirkan disaksikan oleh ibunda, ayahanda, dan suami tercinta. Maka hamba mohon agar tuanku tidak keberatan", pinta putri Kencana Larang kepada suami tercintanya.
"Tidak layak kanda melepas kepergian melati sanjunganku sendiri dalam keadaan begitu ke Padjadjaran, seharusnya tangan kanda sendiri yang harus meletakkan puspa hatiku pada putri aslinya. Namun kiranya dinda dapat memafkan kanda, bila karena kepentingan negara kanda mewakilkan pengantaran dinda ke Padjadjaran kepada salah seorang mentri saja", kata Prabu Brawijaya setelah putri Kencana Larang tak dapat dihalangi dan dilarang lagi. Alangkah bahagianya hati putri, lalu berangkatlah dengan diusung menuju ke Padjadjaran tanah Pasundan. Sementara sang raja Prabu Brawijaya merasa sangat sedih dan mencucurkan air mata.



Berpuluh-puluh hari rombongan putri Kencana Larang menempuh perjalanan menuju Padjadjaran. Suatu ketika sampailah rombongan putri di suatu tempat yaitu Ciamis. Mereka tak menyadari bahwa mereka telah sampai di wilayah Jawa Barat, yaitu di kaki gunung Syawal daerah Ciamis Barat. Di situlah sang putri merasakan bahwa kandungannya yang berusia sembilan bulan sudah terasa mual-mual seperti mau melahirkan. Maka ketua rombongan segera memerintahkan agar perjalanan dihentikan. Putri Kencana Larang meminta untuk dibuatkan tempat untuk berteduh dan melahirkan nanti. Anggota rombongan pun segera melaksanakannya, dibuatkannya sebuah bangunan sederhana di pinggir sungai citanduy. Dengan cepat bangunan itu diselesaikannya dan cukup untuk berlindung sang putri dan rombongan, terutama dari ancaman binatang buas.
Banginda putri berseru: "Kita menumbangkan kayu-kayu yang banyak untuk membuat bangunan ini, mari kita namakan tempat ini, Panumbangan".



Di bangunan sederhana pinggir sungai citanduy itulah akhirnya sang putri melahirkan dua anak, yang satu laki-laki dan satu lagi perempuan. Keduanya sangat tampan dan cantik, seperti Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih. Bali yang menyertai kelahiran kedua anak itu dimasukkannya ke dalam dandang tanah (pendil), kemudian dikuburkan di bawah pohon yang rindang. Selag beberapa lama, putri telah merasa sehat dan kuat kembali lalu melanjutkan perjalanannya, dan pada akhirnya tibalah di istana Padjadjaran. Ayahanda, ibunda, dan seisi istana menyambut kedatangan sang putri dengan kedua bayi dengan penuh haru, sedih, dan gembira. Diceritakanlah oleh sang putri segala pengalaman dalam perjalanannya, sampai-sampai sang putri melahirkan di perjalanan menuju Padjadjaran. Kedua bayinya belum sempat diberi nama, maka baginda raja Padjadjaran memberi nama pada bayi laki-laki "Bongbang Larang" dan bayi perempuan diberi nama "Bongbang Kencana".



Sekian lamanya "Bongbang Larang" dan "Bongbang Kencana" diasuh oleh kakek dan neneknya. Kedua anak itu tumbuh dengan sehat, dan sampailah pada usia akhir baligh. Namun sampai itu pula kira-kira berusia 15 tahun, mereka belum mengetahui siapa ayahnya, karena seisi kerajaan merahasiakannya. Raja Padjadjaran sangat takut jika kedua cucunya meninggalkan istana untuk mencari ayahnya. Prabu Brawijaya belum juga datang menengok atau mengutus orangoleh kakek dan neneknya. Kedua anak itu tumbuh dengan sehat, dan sampailah pada usia akhir baligh. Namun sampai itu pula kira-kira berusia 15 tahun, mereka belum mengetahui siapa ayahnya, karena seisi kerajaan merahasiakannya. Raja Padjadjaran sangat takut jika kedua cucunya meninggalkan istana untuk mencari ayahnya. Prabu Brawijaya belum juga datang menengok atau mengutus orang lain untuk datang ke Padjadjaran. Sementara tali bathin antara Majapahit dan Padjadjaran terus menghubung tak pernah putus. Kedua anak itu setiap malam menjelang tidur selalu memikirkan siapa ayah yang sebenarnya, bertanya kepada siapapun selalu dijawab bahwa ayahnya adalah raja Padjadjaran.



Sampai pada suatu saat, Bombang Larang mendesak seorang emban yang mengasuhnya. Dia sangat ketakutan dan kebingungan untuk mengatakan yang sebenarnya, karena akan terancam hukuman yang berat jika membocorkan rahasia itu, sementara ia pun sangat berat sekali untuk terus berdusta. Akhirnya si emban pun terpaksa karena didesak terus, mengatakan dengan terbata-bata bahwa ayah mereka adalah "Prabu Brawijaya" raja Majapahit.



Sejak saat itu Bongbang Larang telah mengetahui siapa ayah yang sebenarnya. Maka perasaan rindunya pun semakin tak dapat dibendungnya. Pada suatu malam Bombang Larang menghampiri kakenya raja Padjadjaran, untuk meminta izin menemui ayahnya di Majapahit. Kakenya sangat heran, darimana dia tahu semuanya itu. Namun, Bongbang Larang teringat akan janjinya dan tak memberitahukan siapa yang telah memberi tahu dirinya. Raja Padjadjaran tak rela melepas Bongbang Larang pergi dari istana, apalagi pergi ke Majapahit. Akhirnya dihampirilah ibunya untuk meminta do'a restu pergi ke Majapahit. Namun, sang ibu sedang terlelap tidur dan Bongbang Larang tak kuasa untuk mengganggunya. Dia hanya berlutut dan bersujud pada ibunya dalam keadaan tertidur. Akhirnya pergilah Bongbang Larang meninggalkan istana. Keesokan harinya sepengisi istana sibuk mencari Bongbang Larang yang telah pergi, namun tak ditemukan. Akhirnya raja Padjadjaran memberitahukan kepada putri Kencana Larang pergi ke Majapahit menemui ayahnya. Kini Bongbang Kencana menyusul kakanya dan bertemu, lalu diceritakanlah apa yang terjadi di istana, maka berangkatlah bersama-sama untuk menemui ayahnya di Majapahit.
Berbulan-bulan perjalanan, sampailah mereka di 'Panumbangan'. Mereka sangat dahaga, hingga menemukan dangdang di bawah pohon yang rindang, yang tiada lain dangdang itu adalah tempat mengubur bali mereka ketika dilahirkan, yang tanah penimbunnya telah hanyut oleh air. Karena sangat dahaga Bongbang Larang segera mengangkat dangdang itu dan meminumnya langsung. Namun apa yang terjadi? Dangdang itu jatuh sampai mencakup kepalanya. Dia berusaha untuk mengeluarkan kepalanya dari dangdang, tetapi sia-sia belaka. Bongbang Kencana memukul dangdang itu, namun tak juga pecah. Akhirnya dibimbingnya Bongbang Larang oleh Bongbang Kencana untuk menemui seseorang bernama 'Aki Garahang'. Kepada Aki Garahang diceritakannya tentang meraka, hingga kejadian dengan dangdang itu.
"Ini perjalanan dari anak berdua. Segala pekerjaan yang tidak direstui orang tua akan berakhir pada sesuatu yang tak diharapkan. Juga cara minum langsung dari dangdang itu, bukannya cara yang baik. Baiklah bapak akan berusaha menolong kalian", kata Aki Garahang.
Aki Garahang bersemedi memohon petunjuk untuk melepaskan dangdang itu dari kepala Bongbang Larang. Hasilnya, bahwa dangdang itu bisa dipecahkan dengan menggunakan 'Kujang Pusaka'. Setelah berhasil menemukan Kujang Pusaka, Aki Garahang memukulkannya pada dangdang yang mencakup kepala Bongbang Larang. Pecahlah berkeping-keping dangdang itu, dan kelana Padjadjaran pun terlepas dari marabahaya. Aki Garahang meminta kepada keduanya untuk tak meneruskan perjalanan, dan memintanya untuk menetap di dalam beberapa hari. Diterimanya dengan baik permintaan Aki Garahang itu oleh Bongbang Larang dan Bongbang Kencana. Esok harinya Aki Garahang akan pergi dan berpesan kepada kedua anak itu utnuk tak bermain-main di 'Cipangbuangan'. Cipangbuangan adalah tempat yang airnya sangat tenang, jernih, dan menyegarkan. Kedua anak itu tak sadar dan tak ingat pesan Aki Garahang, lalu turun sekedar menyegarkan badan. Namun, ketika beranjak muncul mereka terperanjat kaget dan saling melihat, ternyata mereka telah berubah wujud menjadi harimau (maung). Dengan sangat menyesal keduanya pulang ke rumah Aki Garahang.
"Aki, tak bisa berbuat seuatu apa pun. Itu karena akibat kelalaian anak berdua, tidak mengindahkan petuah orang tua yang telah banyak makan asam-garam".
Kedua hariamau itu menerima kesalahannya, kemudian tanpa bertanya apa-apa lagi mereka pamit meneruskan perjalanannya. Ketika mereka menyeberangi kali Cimuntur, mereka hampir-hampir mati terkena jeratan 'Bole Akar Oyong'. Beruntunglah mereka terlepas dari bahaya itu, namun mereka dihanyutkan Cimuntur yang deras. Bongbang Larang tersedot air yang mengalir melalui selubung batang enau yang terbelah sehingga dia terjepit oleh 'selubung gawul' (penangkap ikan). Masih mujur karena seorang petani dapat menolongnya ke darat. Atas permintaan Bongbang Larang, bungbung yang menyelubunginya dibelah dengan kampak, tetapi tak berhasil. Setelah itu keduanya dibawa ke hadapan raja Panjalu di Dayeuh Luhur. Raja dengan mudah dapat melepaskan selubung bahaya itu, dan sebagai rasa terima kasih mengucapkan janji :
"Hamba turun-temurun tak akan mengganggu keturunan Panjalu, kecuali mereka yang minum langsung dari dangdang, membuat pembuluh tidak dibelah, dan menanam oyong".
Janji itu dikuatkan oleh mantra panjalu. Setelah itu kedua harimau meneruskan perjalanan menuju Majapahit, yang akhirnya sampai juga mereka di sana. Penjaga pintu yang mulanya mengusir mereka, kedua harimau itu mengutarakan bahwa mereka ingin bertemu dengan Prabu Majapahit. Baginda berkenan menerima dan menemui tamu yang aneh itu. Sambil mencucurkan air mata, keduanya mengisahkan perjalannya sejak berangkat dari Padjadjaran sampai tibanya di Majapahit kepada baginda. Prabu Brawijaya memeluk kedua putra dan putrinya dengan penuh tangis seraya berkata: "Malang tak dapat disangkal, tapi sejak saat ini kuangkat nanda sebagai Raja Harimau di Pasundan".





(Cerita rakyat "Maung Panjalu", yang telah menjadi cerita turun-temurun. Dari cerita ini, terbentuklah satu bentuk seni di daerah sekitar Panumbangan yaitu tari "Bongbang")
source : www.panjalu.com

0 komentar:

Posting Komentar

Berikan pendapat anda tentang posting kami... terimakasih.